Seorang Guru Pengabdian bertitel
sarjana, menyelesaikan studinya bertahun-tahun lamanya. Pengorbanan yang tak
sedikit ia berikan untuk gapai cita. Dengan harapan bisa merajut asa. Namun,
apa yang mau dikata, ketika lulus kuliah harus mengabdi di SD atau SMP dengan
gaji per bulan berkisar Rp.75.000, 100.000, 150.000, 200.000 dst. Gaji yang
mungkin untuk biaya transport saja tidak cukup. Memang benar, apa kata Dr.
Adian Husaini bahwa seorang guru itu tidak selayaknya hanya mau mengajar ketika
ada bayaran. Namun, beliau juga menyampaikan bahwa seorang Guru itu berhak
mendapatkan kehormatan (“honor”) yang layak[1]. Belum lagi dengan gaji sebesar
itu tanggung jawab yang dibebankan tidak sebanding dengan upah yang didapat. Belum
lagi dimarahi Kepala Sekolah, dikomplain orangtua siswa dsb.
Lha, kaitannya dengan tukang
parkir apa Mas? Coba tengok sederetan tukang parkir (bukan jasa titipan sepeda
motor) di depan pelataran kios maupun toko. Bermodal peluit sambil melambaikan
tangan bak Polantas. Menarik upah parkir Rp. 1000 untuk motor dan Rp. 2000
untuk mobil. Tidak perlu diklat apalagi sekolah khusus untuk menekuni profesi
ini. Tidak pandang bulu ketika menarik “pajak” dari setiap kendaraan yang
mangkal didepannya. Entah cuman fotocopy doang 2 lembar Rp.500 dikompas sama
tukang parkir Rp. 1000. Lebih mahal biaya parkirnya daripada biaya fotocopy. Belum
lagi jika keperluan kita untuk berpindah dari satu kios ke kios lainnya. Sudah pasti
duit kita bakalan berkurang banyak diminta sama tukang parkir. Sebenarnya bukan
mempermasalahkan keberadaan tukang parkir. Bahkan, tukang parkir sangat
membantu dalam kondisi-kondisi tertentu. Tapi, yang jadi soal adalah
kelakuannya yang kadang tidak melihat kondisi orang yang parkir. Hal ini,
mungkin akan terasa membebani bagi sebagian orang yang berpenghasilan dibawah 1
juta, tinggal dikota dan dengan tingkat mobilitas tinggi yang harus sliweran
parkir kesana kemari. Saya sering numpang mobil orang, bahkan tiap hari untuk
menemani belanja. Entah, cuman beli susu Rp. 7000 kena parkir Rp.2000, dikasih
Rp. 1000 ngomel-ngomel. Nemenin beli makan, parkir rada jauh dari warung ditempat
kosong dengan kondisi jalan sepi, masih saja dikejar tukang parkir. Bisa jadi
kalau seharian bawa mobil muter-muter kota, duit bisa habis hanya untuk
menafkahi tukang parkir. Andaikan Si Tukang Parkir dari pagi sampai sore nilang
100 motor dan 30 mobil, dia sudah mengantongi untung bersih Rp. 160.000. Lho,
koq untung bersih sih Mas? Koq, ga pendapatan hari ini dikurangi modal? Lha,
sekarang modal tukang parkir apa Dek? Wong, cuman sumpritan (bhs.jawa). Bayangkan
sekarang dengan teman-teman Pedjoeang Para Goeroe Pengabdian di Pelosok-pelosok
Bumi Indonesia dengan gaji sebulan yang setara dengan penghasilan sehari Si
Tukang Parkir yang tidak perlu sekolah apalagi kuliah.
Boleh jadi Anda tidak setuju
dengan paparan diatas dan menganggap terlalu berlebihan atau kasuistik. Ga’
masalah, silakan Anda berpendapat. Karena negara melindungi setiap warganya
untuk berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Salam damai Indonesia, sukses selalu.
Footnote:
[1] Dr. Adian Husaini, Prestasi dan Tantangan Pendidikan Islam,
2013.
0 komentar:
Posting Komentar