Rabu, 10 Juli 2013

Antara Tukang Parkir dan Guru Pengabdian

Seorang Guru Pengabdian bertitel sarjana, menyelesaikan studinya bertahun-tahun lamanya. Pengorbanan yang tak sedikit ia berikan untuk gapai cita. Dengan harapan bisa merajut asa. Namun, apa yang mau dikata, ketika lulus kuliah harus mengabdi di SD atau SMP dengan gaji per bulan berkisar Rp.75.000, 100.000, 150.000, 200.000 dst. Gaji yang mungkin untuk biaya transport saja tidak cukup. Memang benar, apa kata Dr. Adian Husaini bahwa seorang guru itu tidak selayaknya hanya mau mengajar ketika ada bayaran. Namun, beliau juga menyampaikan bahwa seorang Guru itu berhak mendapatkan kehormatan (“honor”) yang layak[1]. Belum lagi dengan gaji sebesar itu tanggung jawab yang dibebankan tidak sebanding dengan upah yang didapat. Belum lagi dimarahi Kepala Sekolah, dikomplain orangtua siswa dsb.

Lha, kaitannya dengan tukang parkir apa Mas? Coba tengok sederetan tukang parkir (bukan jasa titipan sepeda motor) di depan pelataran kios maupun toko. Bermodal peluit sambil melambaikan tangan bak Polantas. Menarik upah parkir Rp. 1000 untuk motor dan Rp. 2000 untuk mobil. Tidak perlu diklat apalagi sekolah khusus untuk menekuni profesi ini. Tidak pandang bulu ketika menarik “pajak” dari setiap kendaraan yang mangkal didepannya. Entah cuman fotocopy doang 2 lembar Rp.500 dikompas sama tukang parkir Rp. 1000. Lebih mahal biaya parkirnya daripada biaya fotocopy. Belum lagi jika keperluan kita untuk berpindah dari satu kios ke kios lainnya. Sudah pasti duit kita bakalan berkurang banyak diminta sama tukang parkir. Sebenarnya bukan mempermasalahkan keberadaan tukang parkir. Bahkan, tukang parkir sangat membantu dalam kondisi-kondisi tertentu. Tapi, yang jadi soal adalah kelakuannya yang kadang tidak melihat kondisi orang yang parkir. Hal ini, mungkin akan terasa membebani bagi sebagian orang yang berpenghasilan dibawah 1 juta, tinggal dikota dan dengan tingkat mobilitas tinggi yang harus sliweran parkir kesana kemari. Saya sering numpang mobil orang, bahkan tiap hari untuk menemani belanja. Entah, cuman beli susu Rp. 7000 kena parkir Rp.2000, dikasih Rp. 1000 ngomel-ngomel. Nemenin beli makan, parkir rada jauh dari warung ditempat kosong dengan kondisi jalan sepi, masih saja dikejar tukang parkir. Bisa jadi kalau seharian bawa mobil muter-muter kota, duit bisa habis hanya untuk menafkahi tukang parkir. Andaikan Si Tukang Parkir dari pagi sampai sore nilang 100 motor dan 30 mobil, dia sudah mengantongi untung bersih Rp. 160.000. Lho, koq untung bersih sih Mas? Koq, ga pendapatan hari ini dikurangi modal? Lha, sekarang modal tukang parkir apa Dek? Wong, cuman sumpritan (bhs.jawa). Bayangkan sekarang dengan teman-teman Pedjoeang Para Goeroe Pengabdian di Pelosok-pelosok Bumi Indonesia dengan gaji sebulan yang setara dengan penghasilan sehari Si Tukang Parkir yang tidak perlu sekolah apalagi kuliah.

Boleh jadi Anda tidak setuju dengan paparan diatas dan menganggap terlalu berlebihan atau kasuistik. Ga’ masalah, silakan Anda berpendapat. Karena negara melindungi setiap warganya untuk berserikat, berkumpul dan berpendapat.

Salam damai Indonesia, sukses selalu.


Footnote:
[1] Dr. Adian Husaini, Prestasi dan Tantangan Pendidikan Islam, 2013.


0 komentar: