Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 Maret 2012

-Kisah Na di S-

Kami tiga bersaudara, aku bungsu dan satu-satunya yang paling cantik di rumah. Begitu papa selalu menggodaku, tapi kakak nomor duaku bilang, bunda lebih cantik. Begitulah hari-hari kulalui bersama mas Agung kakak nomor duaku. Kami akrab, apalagi praktis sejak Mas Galang jadi PNS di luar kota. Kami jadi lebih dekat.

Saat pertama mas Galang pertama keluar kota, sedih banget rasanya. Aku kehilangan bukan main. Sering aku ke kamarnya, menangis disana. Rumah sepi tanpa candanya. Dan kini kami juga kehilangan mas Agung. Dia jadi pendiam, jarang bercanda, sering lebih asyik tenggelam di kamar dengan buku-buku “bacaan barunya”. Kubilang buku bacaan baru karena yang ia baca adalah buku-buku bacaan Islam!! Rasanya aneh saja, sebab ia biasa baca novel-novel atau buku-buku roman picisan. Tapi kini raknya penuh dengan buku-buku islam yang sangat asing bagiku. Dari tatacara shalat, kumpulan hadits Bukhari-Muslim dan seabrek buku dengan judul-judul yang sulit kueja bacaannya. Aduh, pusiiiing…
Tak cuma itu, poster artis-artis hollywood dan mandarin F4, sampai kesayangannya Gun’s & Roses, Air Supply, Slank, poster & kaset CDnya bersih semua tanpa sisa. Di kamarnya ada tulisan besar “No Smoking”, padahal yang kutahu mas Agung itu perokok berat. Hebat, dia bisa berhenti dari rokok secara tiba-tiba!

Belum lagi kini ia cuek dengan teman-teman wanitaku yang datang ke rumah. Padahal dulu dia akan segera nimbrung tanpa diminta sambil nenteng gitarnya. Nyanyi dan ketawa bareng. Aku jadi tak enak sendiri pada teman-teman yang bertanya tentang perubahannya. Lewat pakai nunduk-nunduk segala! Kalau aku protes ia bilang, katanya justru sikapnya itu justru menghargai wanita, ngga’ jelalatan, menghormati perempuan. Tuturnya sambil senyum-senyum.


Bajunya?! Amit-amit sekarang gak ada keren-kerennya. Celana cutbray plus jeans belel dan kaos Metalica-nya entah kabur kemana. Berganti dengan hem sederhana atau baju koko dengan celana cingkrang gombrang bak kurang bahan. Menurutku penampilannya selevel dengan pak Jarwo tukang kebun di rumah. Dan satu lagi kebiasaan barunya ia rajin taklim dan pernah menyeretku “bersamanya”.
“Yuk, ikut mas Agung ngaji…” Meski awalnya sering kutolak mati-matian, akhirnya ia selalu sukses mengajakku. Belum lagi ia meninggalkanku sendirian bersama wanita-wanita di ruangan sisi masjid, dan ia entah dimana. Ia membiarkanku salah tingkah tampil beda tanpa kerudung, berkaos pendek, dan bercelana jeans. Awas ya, batinku merutuk. Tapi salah siapa? Tadi ia sudah memintaku berkerudung dan berpakaian lebih pantas tapi kutolak. Di parkiran ia cengar-cengir menantiku usai taklim “Gimana?”, “Bodo ah”, jawabku ketus. Lalu kami beli es buah sesuai janjinya untuk menghilangkan sewotku

*****

Besok mas Galang pulang cuti. Aku senang bukan main. Aku bakal mengadu habis padanya soal perubahan mas Agung. Biasanya aku Cuma mengadu lewat telphon. Besok kalau mas Galang pulang dia bisa melihat sendiri seperti apa mas Agung sekarang. Dijamin pasti ia ikut tak senang sepertiku. Biasanya sih mas Galang bilang di telpon, “Kalau berubah ke arah yang lebih baik kan tak masalah”. Nasehatnya setengah bertanya. “Uh, baik apanya?, jadi kuper, gak trendy, gak modis lagi, malah miara jenggot juga tuh”.

Tapi yang kulihat hari ini…., hampir membuatku pingsan. Saat turun dari taksi, masyaallah… penampilannya persis kayak mas Agung sekarang. Mas Agung tersenyum.

“Assalamu’alaikum akhi (saudaraku-red)?” mereka berangkulan hangat. Aku diam melongo. Sejak kapan mas galang ganti nama jadi akhi. Kubiarkan tubuhku dipeluknya. Aku bahagia tapi tetap merasa aneh.
Sungguh dua abangku jadi lebih santun dan pendiam. Diam-diam kuakui mereka tetap saja ganteng dengan penampilan mereka kini. Padahal dulu mereka urakan, jago nongkrong, dan ngrokok. Apalagi kalau sudah main billiyard atau ngeband, bisa lupa waktu. Mama sering dibuat pusing kalau pagi. Mereka susah di bangunin untuk sekedar sholat shubuh, papa sampai sering ikut marah. Tapi kini, mereka rajin sholat tanpa disuruh dan berhenti dari membuang waktu sia-sia. Makan juga seadanya. Padahal dulu mereka akan mogok makan kalau tak ada ikan dimeja. Papa dan mama respek pada perubahan dua abangku. Hingga papa tiba-tiba bicara saat makan malam.

“Kapan ya papa punya akhwat di rumah?, alhamdulillah papa sudah punya 2 ikhwan. Sudah gedhe lho kamu Na, kapan mau tutup aurat?”

Sebel deh, papa bilang begitu. Tapi ada yang lain dihatiku.

*****

4 bulan berikutnya aku mulai PD berkerudung meski kecil dan merasa aneh pada awalnya, lama-lama aku mulai merasa nyaman memakainya. Sedikit demi sedikit kerudung kuperbesar. Mas Agung senang bukan main. Ia rajin menghadiahkan untukku buku-buku salaf. Bila pulang mas Galang sering memberiku oleh-oleh jubah panjang.

Belum setahun aku “berhijrah”, tapi dukungan dari papa dan mama juga 2 mas “ikhwanku” membuatku bersemangat. Aku bersyukur punya 2 abang yang menjadi jalan taubatku atas ijin Allah ta’ala. Mama juga mulai berkerudung bila keluar rumah. Alhamdulillah kusyukuri semua atas hidayah ini, dan satu lagi, setiap orang di rumah kini tengah bersemangat dalam berbenah untuk memperbaiki diri. Semoga kami semua istiqomah.

Diketik ulang dari majalah SAKINAH vol 10 no 3 oleh akhanggas untuk
enkripsi .wordpress.com
Read More..
Di Karangayu, sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah, hiduplah seorang ibu penjual tempe. Tak ada pekerjaan lain yangn dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang.”Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya…” demikian dia selalu memaknai hidupnya.

Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi, deg! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian.

Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti tidak akan mendapatkan uang untuk makan dan modal membeli kedelai yang akan dia olah kembali menjadi tempe.



Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. “Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku…”

Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya. Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe.

Dan… dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacangnya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang “memproses” doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau maha tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku…

Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan… belum jadi. Kacang itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang tersebut. Keajaiban Tuhan akan datang… pasti, yakinnya.

Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, “tangan” Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa… berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.

Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu. “Pasti sekarang telah jadi tempe!” batinnya.

Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan… dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi. Kecewa, air mata menitik di keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.

Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu.

Dan dia tiba-tiba merasa lapar…merasa sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku,batinnya. Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan… esok dia pun tak akan dapat makan.

Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan “teman-temannya” sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya mulai memuncak.

Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat…

Tiba-tiba sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya. Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya? Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat.

Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menengadahkan tangan. Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe…

Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe…

Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi? tanya perempuan itu lagi. Kepanikan melandanya lagi. “Duh Gusti… bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?” ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat, pembaca?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi!

“Alhamdulillah!” pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?”

Ooh, bukan begitu, Bu. Anak saya yang kuliah di Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu?

Kisah yang biasa bukan, dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa dan “memaksakan” Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa. Padahal Allah paling tahu apa yang paling cocok untuk kita. Bahwa semua rencananya adalah sangat sempurnaKisah sederhana yang menarik, karena seringkali kita pun mengalami hal yg serupa. Di saat kita tidak memahami ada hikmah di balik semua skenario yg Allah SWT takdirkan

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al Baqarah 216)


Sumber : FB Strawberry
Read More..